Dari Sungai Mengalir Cahaya: Dusun Sumber Kapong Mandiri Energi Sejak 1994

A+A-
Atur Ulang

BAGIKAN ARTIKEL

Dusun Sumber Kapong, yang terletak di lereng Gunung Argopuro, Probolinggo, telah mandiri energi selama puluhan tahun dengan memanfaatkan aliran sungai. Inovasi ini tidak hanya menggerakkan kehidupan warga, tetapi juga menunjukkan kekuatan gotong royong dan keberlanjutan.

***

Udara segar serta rimbunnya pepohonan di kanan dan kiri jalan menjadi teman perjalanan saat menyusuri Dusun Sumber Kapong. Tanaman kopi, jagung, dan aneka sayuran tumbuh subur di dusun yang terletak di lereng Gunung Argopuro ini.

Dusun Sumber Kapong sendiri merupakan bagian dari Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris. Untuk mencapai dusun ini, diperlukan waktu sekitar dua jam perjalanan dari Kota Kraksaan, ibu kota Kabupaten Probolinggo.

Saat berkunjung pada pagi hari, suasananya begitu tenang dan damai. Tampak para orang tua sibuk berladang dan beternak. Sedangkan anak-anaknya ada yang sekolah dan bermain. Mereka tampak penuh ceria.

Dibalik semua itu, dusun yang terletak di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini telah menahbiskan diri sebagai salah satu kampung merdeka energi di Indonesia dengan memberdayakan aliran sungai.

Sejak puluhan tahun, masyarakat Dusun Sumber Kapong memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) tersebut untuk kebutuhan listik sehari-hari, yakni lewat kincir air dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

”Dulu tidak seperti ini. Sekarang, sudah enak, terang. Kalau dulu, gelap, belum ada listrik disini,” kata Mohammad Rasid, penggagas PLTMH di Dusun Sumber Kapong saat ditemui pada Selasa, 13 Agustus 2024.

Pak Rasid -sapaan Mohammad Rasid- bercerita, Dusun Sumber Kapong dulu memang tidak ada listrik. Sekalipun dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton, namun aliran listriknya tak sampai ke kampungnya.

Dengan kondisi tersebut, dia mengatakan, warga Dusun Sumber Kapong biasanya hanya beraktivitas saat pagi hingga sore saja. Sedangkan malam hari, kata dia, warga lebih banyak berada di masing-masing rumahnya.

”Habis maghrib, sudah tidak ada aktivitas, warga lebih banyak di rumah. Soalnya, jalanan gelap karena tak ada listrik. Jadi, kalau malam, warga biasanya pakai lampu strongkeng untuk menerangi rumah,” ungkapnya.

Seiring waktu, tepat pada tahun 1992, Pak Rasid mulai memiliki inisiatif agar Dusun Sumber Kapong keluar dari “kegelapan”. Inisiatif tersebut muncul usai berkunjung ke rumah pamannya, yakni Khusnul, di Jember.

Saat berkunjung bersama sang istri, Suryani, Pak Rasid melihat ada kincir air bekas jaman Belanda yang bisa menghasilkan listrik dan menerangi rumah pamannya yang berada di eks perkebunan Belanda tersebut.

”Sejak dari rumah paman inilah, saya mulai berpikir untuk membuat kincir air di desa saya. Apalagi, kata paman waktu itu, untuk membuat kincir air sangat mudah. Biayanya pun juga murah,” ujar bapak dua anak ini.

Meski demikian, Pak Rasid belum bisa merealisasikan langsung ide membuat kincir air di desanya pada tahun itu. Ia mengungkapkan bahwa ide besarnya tersebut baru bisa direalisasikan pada akhir tahun 1993.

Pak Rasid Penggagas PLTMH di Dusun Sumber Kapong Epochstream

Mohammad Rasid, penggagas kincir air dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Sumber Kapong, Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, sehingga warga bisa menikmati listrik sejak tahun 1993 hingga saat ini. Foto: Moh Badar Risqullah/EPOCHSTREAM

Dalam membuat kincir air, Pak Rasid mengungkapkan dirinya tidak meminta bantuan warga maupun pemerintah desa. Ia rela menjual beberapa barang berharga miliknya, seperti sapi ternaknya hingga perhiasan istrinya.

Dari hasil menjual barang berharga miiknya tersebut, dia kemudian membelanjakannya untuk segala kebutuhan dalam membuat kincir air. Diantaranya, mulai dari dinamo, kayu, besi bekas, kabel, hingga lampu.

Selama proses membuat kincir air, Pak Rasid mengaku banyak mendapat cibiran dari warga setempat. Dirinya disebut gila karena idenya tersebut dinilai tidak masuk logika, bagaimana bisa dari kinci air menghasilkan listrik.

Meskipun mendapat cibiran warga, Pak Rasid tak menghiraukannya. Ia mengaku tetap melanjutkan idenya tersebut. Apalagi, dalam membuat kincir air, dirinya tidak meminta bantuan dana ke orang lain.

”Semuanya pakai uang pribadi saya. Seperti dinamo, saya itu kan belinya bekas, saat itu harganya sekitar Rp500 ribu. Dan kalau ditotal, kala itu saya habis sekitar Rp4 juta untuk membuat kincir air,” ungkapnya.

Setelah sekitar satu bulan, tepatnya pada Januari 1994, usahanya membuahkan hasil. Pak Rasid selesai membuat kincir air. Saat uji coba dipasang di aliran sungai, kincir air buatannya tersebut sukses menghasilkan listrik.

”Betapa senangnya saya saat itu. Dimana, setelah puluhan tahun tidak merasakan listrik, kemudian ada listrik. Lampu-lampu di rumah saya dan rumah ibu bisa menyala. Senangnya minta ampun kala itu,” kata Pak Rasid.

Saat awal-awal kincir air buatannya beroperasi, Pak Rasid mengungkapkan, listrik yang dihasilkan masih belum stabil. Bahkan, beberapa kali lampu di rumahnya pecah karena tegangan listriknya terlalu tinggi.

Meski tak memiliki ilmu kelistrikan, dimana dirinya hanya lulusan Madrasah Aliyah (MA) setara Sekolah Menangah Atas (SMA), Pak Rasid tak putus asa. Ia berupaya mencari cara agar aliran listrik dari kincir air bisa stabil.

”Akhirnya, saya coba dengan membelikan lampu-lampu yang kemudian saya pasang di kincir air itu untuk menstabilkan aliran listriknya. Ternyata bisa. Nah, sejak saat itu, aliran listrik dari kincir air ini bisa stabil,” ucapnya.

Melihat rumahnya teraliri listrik, Pak Rasid mengungkapkan, warga-warga di Dusun Sumber Kapong yang awalnya mencibirnya mulai berdatangan kepadanya. Mereka meminta kepadanya untuk juga dialiri listrik.

Meski pernah sakit hati karena dicibir, Pak Rasid tetap rendah hati. Ia masih dengan senang hati mau mengalirkan listrik yang dihasilkan dari kincir air buatannya tersebut ke rumah-rumah warga. Itu pun juga secara gratis.

Ia mengatakan, dirinya rela memberikan aliran listrik secara gratis tersebut karena sebagian besar warga di kampungnya merupakan warga kurang mampu. Dimana, kata dia, rata-rata penghasilannya berasal dari pertanian.

”Saat itu, listrik dari kincir air kurang lebih bisa dialirkan ke 25 sampai dengan 30 rumah warga disini. Semuanya gratis. Saya tidak ngambil untung sama sekali. Meskipun saya buatnya itu dengan biaya sendiri,” ujarnya.

Kincir Air di Dusun Sumber Kapong Desa Andungbiru Kabupaten Probolinggo

Bekas kincir air yang dibangun oleh Mohammad Rasid sebelum adanya Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Sumber Kapong, Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo. Foto: Moh Badar Risqullah/EPOCHSTREAM

Bangun PLTMH dengan Belajar Otodidak

Beberapa bulan berjalan, Pak Rasid mengatakan, warga Dusun Sumber Kapong yang belum teraliri listrik berdatangan ke rumahnya. Mereka juga meminta kepadanya agar bisa dialiri listrik dari kincir air buatannya tersebut.

Namun, karena kapasitasnya masih kecil, Pak Rasid belum bisa merealisasikan keinginan warga tersebut. ”Banyak yang minta (untuk dialiri listrik), tapi karena kapasitasnya hanya puluhan rumah, jadi belum bisa,” ucapnya.

Merespon keinginan warga yang lain tersebut, Pak Rasid mulai berkeinginan membangun PLTMH di desanya. Tetapi, karena terkendala biaya dan pengetahaun untuk membuat PLTMH, ide tersebut hanya sebatas ada di kepalanya.

Kendati demikian, Pak Rasid tak menyerah. Ia rela merogeh kocek sendiri pergi ke beberapa daerah yang sudah pernah membangun PLTMH. Ia pun belajar cara membuat PLTMH dari beberapa daerah yang dikunjunginya.

Akhirnya, pada September 1999, Pak Rasid mulai merealisasikan keinginannya membangun PLTMH. Sama seperti saat membangun kincir air, dia tak memminta bantuan dana ke warga. Ia mengaku dananya dari hasil pertanian.

”Tapi, karena uang yang ada minim, jadi dalam membangun PLTMH saat itu saya beli barang-barang bekas. Seperti mesin misalnya, saya beli bekasnya. Untuk pipanya juga dari tong bekas yang disambung,” ungkapnya.

Dalam proses pembangunan PLTMH, Pak Rasid juga melakukannya sendiri. Ia mengaku hanya dibantu beberapa tukang untuk membangun rumah kecil atau gubuk untuk menjaga PLTMH agar tidak cepat rusak.

”Saya tidak mau memberatkan warga, karena warga disini ekonominya rata-rata kurang mampu. Jadi, saya pakai uang sendiri. Ongkos tukang yang membangun gubuk itu pun saya juga pakai uang sendir,” ucapnya.

Setelah semuanya selesai, dia mulai melakukan percobaan terhadap PLTMH buatannya tersebut. Dari hasil uji coba pertama, Pak Rasid mengatakan, PLTMH yang dibangunnya berhasil mengalirkan listrik dengan stabil.

Pak Rasid juga mengungkapkan, listrik yang dihasilkan dari PLMTH juga sangat besar, yakni 42.500 watt, dan bisa dialirkan ke 250 sampai 300 rumah warga. Termasuk, kata dia, ke musala atau tempat ibadah yang ada di desanya.

”Saya bersukur, akhirnya warga yang sebelumnya belum teraliri listrik karena keterbatasan kincir air bisa teraliri listrik,” ungkap bapak berusia 54 tahun ini. Meski sudah ada PLMTH, dia mengungkapkan kincir air tetap dijalankan.

Sejak saat itulah, lanjut Pak Rasid, aktivitas warga di Dusun Sumber Kapong tidak lagi hanya sebatas pada pagi hingga sore hari saja. Ia mengatakan, warga sudah bisa melakukan aktivitasnya pada malam hari.

Meterelan Listrik dan Mesin PLTMH di Dusun Sumber Kapong Epochstream

(Foto Kiri) Meteran listrik yang digunakan Mohammad Rasid untuk mengaliri listrik dari PLTMH ke rumahnya. (Foto Kanan) Mesin PLTMH yang digunakan Mohammad Rasid agar desanya dapat teraliri listrik. Foto: Moh Badar Risqullah/EPOCHSTREAM

Iuran Fleksibel, Bisa Bayar saat Musim Panen

Berbeda dengan kincir air, untuk PLTMH tersebut, Pak Rasid menarik iuran kepada warga sebesar Rp10 ribu per bulan. Untuk iurannya, dia membebaskan kepada warga membayar dalam bentuk apapun.

Artinya, dikatakan Pak Rasid, warga bisa membayar iuran PLMTH tesrebut tidak harus dalam bentuk uang, namun bisa dengan hewan ternak seperti ayam dan bebek atau hasil pertanian seperti pisang dan kopi.

Jika bayarnya menggunakan hewan ternak atau hasil pertanian, dia mengatakan, nilainya disesuaikan dengan harga yang dipasaran. Misalnya, satu ayam seharga Rp40 ribu, maka itu untuk iuran selama 4 bulan.

Tidak hanya itu, untuk waktu pembayarannya pun Pak Rasid juga membebaskan kepada warga. Ia mengatakan, jika pada bulan itu misalnya tidak bisa bayar, maka warga bisa bayar saat sudah ada uang.

”Pembayaran iurannya saya buat fleksibel. Hal itu agar tidak membebankan warga. Kalau ada uang, bisa bayar iuran. Kalau tidak ada, bisa dibayar jika sudah ada, misalnya saat musim panen,” ungkapnya.

Pak Rasid mengungkapkan, adanya iuran tersebut bukan digunakan untuk kepentingannya sendiri, namun untuk operasional PLTMH. Mulai dari perawatan hingga membeli alat-alat jika ada yang perlu diganti.

Sampai saat ini, kata dia, ada tiga PLTMH yang digunakan dan menghasilkan total 1.200 kilo volt. Tak hanya di dusunnya, PLTMH buatannya itu juga sudah bisa mengaliri listrik untuk sekitar 600 keluarga di tiga desa.

Ia menyebutkan, PLTMH yang kedua merupakan bantuan PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) pada tahun 2010. Sedangkan PLTMH yang ketiga bantuan dari PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) pada tahun 2018.

”Jadi, jika dulu puluhan tahun dusun kami masih gelap gulita kalau malam, sekarang sudah terang benderang. Saat ini kami tak perlu khawatir ada pemadaman, karena listriknya menyala 24 jam,” ungkapnya.***

Jangan Lupa! Tinggalkan Komentar

Catatan:
Dengan mengisi formulir ini, Anda setuju dengan penyimpanan dan penanganan data Anda oleh EPOCHSTREAM. Kami tentu menjamin kerahasiaan dan keamanan data Anda sesuai peraturan yang berlaku. Selengkapnya, baca Kebijakan Privasi dan Ketentuan Layanan kami.