Eksploitasi terhadap anak buah kapal (ABK) tidak hanya terjadi di kapal asing, tetapi juga di dalam negeri. Kondisi kerja di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur, mencerminkan ketidakadilan ini, mulai dari jam kerja berlebihan, pemotongan upah sepihak, hingga maraknya praktik percaloan.
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur, tampak ramai pada Rabu, 30 April 2025. Sejumlah pekerja sibuk menurunkan ikan dari lambung dua kapal penampung, KM Nagoya 3 dan KM Jala Karya Sukses Abadi. Sementara itu, beberapa orang terlihat mengawasi proses bongkar muat di pelabuhan kelas C tersebut.
Berbagai jenis ikan, seperti Kakap Merah, Malong (Remang), Otek (Mayung), Kuro, Layur, serta Hiu Kikir dan Hiu Air, diturunkan dari kedua kapal. “Ikan-ikan ini berasal dari Laut Aru (WPP-RI-718, red),” ujar salah satu pengawas aktivitas bongkar muat yang enggan disebut namanya saat ditemui di lokasi.
Setelah diturunkan, ikan-ikan tersebut disortir dan ditimbang oleh pekerja, termasuk petugas UPT Pelabuhan Perikanan Mayangan. Kemudian, ikan itu dimasukkan ke dalam karung dan diangkut dengan mobil pikap serta mobil boks menuju cold storage atau gudang berpendingin yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan.
Dalam sekali bongkar muat, ia menyebutkan bahwa dalam satu kapal ada sekitar ratusan ton ikan yang harus diturunkan. Biasanya, kata dia, proses tersebut memakan waktu sekitar lima hingga enam hari. “Berhubung besok tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh, jadi libur. Nanti dilanjutkan hari Jumat hingga selesai,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa sebagian besar ikan dari Pelabuhan Mayangan biasanya diekspor ke berbagai negara, seperti China, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. “Tergantung permintaan sebenarnya, tetapi paling banyak dan sering ke China, terutama ikan Otek—itu primadona di sana,” katanya.
Tak hanya menjadi primadona, ia mengatakan bahwa nilai ekspor ikan dari Pelabuhan Mayangan juga cukup fantastis. Misalnya, untuk jenis ikan Otek, harga per kilogramnya bisa mencapai Rp80.000. Sementara itu, ikan Kakap Merah sekitar Rp70.000 per kilogram dan ikan layur sekitar Rp30.000 per kilogram. “Apalagi kalau kualitas ikannya bagus, harganya bisa semakin mahal,” katanya.
Senada diungkapkan Kepala Seksi Pelayanan Teknis Pelabuhan dan Syahbandar Perikanan di UPT Pelabuhan Perikanan Pantai Mayangan, Nonot Widjajanto. Ia menyebutkan bahwa ikan jenis Manyung, Malong hingga Kakap memang primadona di kalangan industri. ”Ekspornya hingga ke Belanda, Prancis, Amerika Serikat, Italia, Rusia, hingga Afrika,” kata dia saat ditemui di kantornya.
Jika merujuk data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI), produksi ikan jenis Otek atau Manyung tergolong tinggi. Misalnya, pada tahun 2022, volume produksi ikan dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 718 mencapai 6.001,39 ton, sedangkan pada tahun 2023 menurun menjadi 3.598,36 ton. Sementara itu, produksi ikan Malong mencapai 775,55 ton pada tahun 2022, dan 686,91 ton pada tahun 2023.
Namun demikian, tingginya produksi dan nilai ekspor ikan di Pelabuhan Mayangan tersebut berbanding terbalik dengan kesejahteraan para Anak Buah Kapal (ABK), terutama di kapal rawai. Kondisi mereka memprihatinkan dan seringkali mengalami eksploitasi yang berujung pada kematian.
Kapal rawai adalah jenis kapal penangkap ikan yang menggunakan rawai (longline) sebagai alat tangkap utama. Rawai terdiri atas tali panjang dengan banyak mata pancing yang dipasang pada interval tertentu, biasanya digunakan untuk menangkap ikan besar seperti tuna dan hiu.
Realitas tersebut salah satunya diungkapkan oleh mantan ABK kapal rawai asal Riau, Ujang Chaniago. Ia mengungkapkan salah satu bentuk eksploitasi yang pernah dialaminya adalah jam kerja berlebihan yang bisa mencapai 19 jam. ”Kerjanya nonstop. Istirahatnya hanya lima jam,” katanya saat ditemui di rumahnya pada Rabu malam, 19 Maret 2025.
Ujang menjelaskan, untuk teknis di kapal, jam kerjanya itu disebut dengan istilah tiga putaran—dua putaran untuk bekerja secara bergantian dan satu putaran untuk istirahat. ”Tapi kan tidak mungkin istirahatnya tepat lima jam, kadang hanya tiga sampai empat jam. Sebab, kita masih bersih-bersih badan sebelum tidur,” katanya.
Kondisi tersebut jelas melampaui aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 42/PERMEN-KP/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan. Dalam regulasi tersebut, jam kerja normal awak kapal ditetapkan sebesar delapan jam per hari, dengan batas maksimal lembur hingga 16 jam kerja serta delapan jam istirahat per hari.
Selain itu, aturan tersebut juga memberikan hak cuti kepada awak kapal, yakni 10 hari setiap enam bulan atau 20 hari cuti tahunan. Semua hak-hak tersebut tidak pernah diterima oleh Ujang. Selama bekerja sebagai ABK, ia mengatakan bahwa dirinya bisa berada di tengah laut selama enam bulan penuh. ”Dalam satu tahun berlayar, misalnya, saya hanya sekali menginjakkan kaki di daratan,” ujarnya.
Di sisi lain, kontrak kerja juga bisa berubah-ubah. Rata-rata, kata Ujang, kontraknya berlangsung selama 10 bulan hingga satu tahun. Namun, belakangan ini, karena hasil tangkapan ikan sering berkurang, tekong atau nakhoda kapal bisa menambah durasi kontrak selama enam bulan agar target tangkapan tercapai.
Bahkan, jika target tangkapan masih kurang, ia mengatakan aktivitas melaut bisa dilakukan di luar zona tangkapan yang seharusnya. Salah satunya, ia pernah masuk wilayah perairan Australia dan menangkap ikan secara ilegal demi memenuhi target tangkapan. “Curi-curi ikan di sana,” katanya.
Tak hanya jam kerja berlebihan, nominal gaji yang didapatkan Ujang juga sangat rendah dibandingkan dengan resiko kecelakaan kerja yang besar. Ia menyebutkan bahwa dirinya bisa mendapat upah paling rendah Rp1 juta dan paling tinggi Rp2 juta per bulan dengan kontrak kerja 12 bulan atau setahun.
Ia mencontohkan, misalnya mendapat upah Rp12 juta per tahun dengan pinjaman awal Rp5 juta, maka sisanya adalah Rp7 juta yang kemudian dibagi 12 bulan. ”Nah, (sisa gaji) itu yang diambil oleh orang rumah (keluarga),” kata dia. Artinya, dalam satu bulan, upah yang didapatkan Ujang hanya sekitar Rp580 ribu.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, Ujang mengungkapkan bahwa jumlah ABK yang meninggal akibat sistem kerja di kapal rawai terus meningkat. Kondisi ini semakin memburuk sejak kapal-kapal rawai mulai menggunakan freezer atau lemari pembeku. Akibatnya, kata dia, ABK banyak yang jatuh sakit akibat paparan suhu dingin di dalam freezer hingga akhirnya meninggal dunia.
”Freezer ini kan dapat membekukan ikan hingga sekeras batu. Mereka tidak kuat dengan dinginnya. Soalnya, mereka masuk ke dalam freezer tertutup dan cuma ada satu lubang sebesar satu kotak asbes,” ujarnya. ”Kalau dulu masih enak karena menggunakan es batu biasa, jadi jarang yang sakit.”
Kemudian, jika ada ABK yang meninggal di tengah laut, ia mengatakan bahwa beberapa pemilik kapal dan tekong berupaya melobi keluarga agar tidak memulangkan jenazah. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk menghindari kerugian akibat biaya pemulangan hingga santunan kematian.
Ia mencontohkan, jika ada Anak Buah Kapal (ABK) yang meninggal, perwakilan pemilik kapal akan menghubungi keluarganya. Saat itulah mereka berupaya melobi agar jenazah tidak dipulangkan. Dalih yang sering digunakan, kata Ujang, adalah rasa kasihan terhadap jenazah karena harus melalui proses pemulangan yang melibatkan naik turun kapal.
Jika berhasil melobi keluarganya, lanjut Ujang, tekong dan pemilik kapal akan menguburkan jenazah ABK yang meninggal di pulau-pulau terdekat. ”Jadi, keluarga diminta untuk mengikhlaskan,” ujarnya. Sementara itu, ia mengaku belum pernah mengetahui adanya praktik pembuangan jenazah ke laut.
Berdasarkan pengalamannya, salah satu rekannya sesama ABK, Doyok, meninggal akibat sakit. Sebelumnya, kata Ujang, Doyok sempat dirawat selama dua hari di rumah sakit di Dobo. ”Baru dua kali mengirim ikan saat itu. Kakinya bengkak. Akhirnya, jenazah dikirim menggunakan pesawat ke Probolinggo,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Ujang, keluarga ABK yang meninggal harus bersikap tegas kepada tekong dan pemilik kapal agar jenazah tetap dipulangkan. ”Jika hanya menangis saja, mereka akan sewenang-wenang. Meski tidak semuanya, beberapa tekong memang brengsek. Karena itu, keluarga harus tegas,” ujarnya.
Dengan beban kerja yang berat serta risiko kecelakaan yang bisa berujung pada kematian, Ujang mengaku tidak pernah mendapatkan jaminan sosial. ”Tidak ada itu. Hanya saja, jika ada Anak Buah Kapal (ABK) yang meninggal, biasanya diberikan santunan. Tekong dan pemilik kapal akan patungan, kemudian menyerahkannya kepada keluarga ABK yang ditinggalkan,” ujarnya.
Melihat realitas kerja di sektor perikanan, Ujang mengaku sejatinya ingin berhenti menjadi ABK sudah sejak lama. Namun, karena hanya memiliki keahlian melaut, ia tidak memiliki pilihan lain selain tetap bekerja sebagai ABK. ”Saya baru berhenti pada akhir 2022 karena sakit stroke dan diabetes,” katanya.
Karena alasan tersebut, ia pun melarang sang anak mengikuti jejaknya menjadi ABK. Cukup dirinya saja yang merasakan pahitnya bekerja di sektor perikanan. ”Sekarang anak saya kerja di rumah makan untuk bantu ekonomi keluarga,” ujarnya.
Tidak jauh berbeda dialami oleh Setiawan—bukan nama sebenarnya—. ABK asal Riau ini mengaku juga mengalami perlakuan yang tidak manusiawi saat bekerja di kapal KM HLT dari Tanjung Balai di Probolinggo baru-baru ini. Ia sendiri baru selesai berlayar bersama kapal tersebut pada awal tahun ini.
Dalam keterangannya, ia mengungkapkan bahwa tekong di KM HLT tersebut tidak segan menggunakan kekerasan terhadap ABK yang melakukan kesalahan. ”Apes kemarin. Dapat tekong yang kejam. Sering menggunakan kekerasan, baik dengan tangan maupun alat,” katanya.
Lebih parah lagi, lanjut Setiawan, salah satu rekannya sesama ABK ditelantarkan di Maluku hanya karena dianggap tidak bisa memancing. Ia mengatakan bahwa ABK yang ditelantarkan tersebut memang baru ikut kapal. ”ABK lain yang tahu soal itu tidak bisa berbuat apa-apa karena takut,” ujarnya.
Tak hanya di kapal rawai, kapal Jonggrang juga memiliki masalah yang hampir serupa. Terutamanya soal sistem gaji yang tidak jelas, yakni dengan bagi hasil. Upah yang diterima ABK sering kali tidak sebanding dengan beban kerja dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, kapal Jonggrang juga tidak memiliki tempat istirahat yang layak. Hal ini diungkapkan Ujang. Ia mengatakan dalam beberapa kali pengalamannya bekerja di kapal yang menggunakan alat tangkap pukat harimau ini, ia hanya bisa tidur di samping mesin dalam posisi duduk. ”Tidak ada kamar. Jadi, kalau siang kepanasan, malam kehujanan,” katanya.
Kondisi tersebut diamini oleh Djumadin, salah satu warga asli Kelurahan Mayangan yang juga pernah bekerja di kapal Jonggrang. Dari beberapa kali melaut, ia mengaku lebih sering tidak mendapatkan upah karena sistem gaji yang berbasis bagi hasil. ”Apalagi jika hasil tangkapan minus saat dikalkulasi dengan operasional, otomatis kami tidak mendapat upah,” ujarnya saat ditemui di rumahnya.
Sistem upah dengan bagi hasil itu juga sering kali dijadikan celah oleh tekong untuk memanipulasi hasil tangkapan. Ada kalanya, kata Djumadin, tekong menyebutkan hasil tangkapan minus, padahal sebenarnya masih mendapat untung, meski sedikit. “Karena disebut minus, ABK akhirnya tidak mendapatkan apa-apa,” katanya.
Selain itu, pemilik kapal Jonggrang juga sering kali menerapkan sistem bon atau pinjaman. ABK yang sudah berutang lebih dulu, kata Djumadin, mau tidak mau harus ikut kapalnya. Selama utang belum lunas, mereka tidak bisa pindah ke kapal lain. “Baru kalau sudah lunas, bisa ikut kapal lain. Ini semacam kontrak tidak tertulis,” ujarnya.
Sama halnya dengan kapal rawai, kapal Jonggrang juga tidak menyediakan jaminan sosial bagi ABK. Padahal, beban kerja sangat berat dan penuh risiko. Ia mencontohkan tetangganya yang kehilangan tangannya akibat kecelakaan kerja. ”Tidak ada jaminan sosial. Hanya ada santunan saja,” katanya.
Karena itulah, Djumadin kini memilih menjadi nelayan tradisional seperti dulu. Ia mengaku lebih bebas bekerja dan bisa melakukan pekerjaan lain. ”Lebih enak sekarang, tidak ada beban ini itu,” tuturnya.
Terkait sistem gaji bagi hasil ini, pengalaman lebih parah dialami Demak Aruan saat ikut kapal cumi Merauke di Pelabuhan Mayangan. Ia mengaku seperti menjalani kerja rodi selama 10 bulan bekerja di kapal KM Bintang Sahabat 99 pada tahun 2024. Pasalnya, gaji yang diterimanya dipotong sepihak oleh tekong.
Saat itu, dijelaskan Demak, hasil tangkapannya mencapai 50 ton. Berdasarkan sistem gaji bagi hasil yang telah disepakati, dengan harga Rp3.000 per kilogram, maka total pendapatan mencapai Rp150 juta. Jika dibagi 23 sesuai jumlah ABK yang ikut berlayar saat itu, maka masing-masing seharusnya menerima sekitar Rp6,5 juta. ”Tapi ini malah cuma Rp1 juta per ABK,” kata ABK asal Jawa Barat ini.
Aktivitas bongkar muat ikan di Pelabuhan Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur, pada Rabu, 30 April 2025. Foto: Moh Badar Risqullah/EPOCHSTREAM
Sudah Dieksploitasi, Masih Dihisap Calo
Kondisi kerja ABK di Pelabuhan Mayangan, Probolinggo, yang tidak manusiawi tersebut semakin diperparah oleh maraknya praktik percaloan dalam proses rekrutmennya, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Calo kerap memotong upah dan bahkan menelantarkan ABK.
Praktik percaloan dalam perekrutan ABK untuk keberangkatan dari Pelabuhan Mayangan mudah ditemukan di media sosial. Penelusuran jurnalis mengungkap bahwa Facebook dan TikTok menjadi platform utama yang digunakan calo untuk menyebarkan lowongan kerja ABK.
Dari berbagai unggahan lowongan kerja ABK di kedua platform tersebut, syarat dan tawaran calo bervariasi. Misalnya, untuk kontrak kerja satu tahun, ABK dijanjikan pinjaman antara Rp7 juta hingga Rp10 juta. Untuk kontrak dua bulan, pinjaman awal yang ditawarkan sebesar Rp 2 juta.
Salah satu calo yang aktif merekrut ABK melalui Facebook adalah akun bernama Fahmi Dewata. Setidaknya, ia menawarkan 12 lowongan kerja ABK, tidak hanya untuk keberangkatan dari Pelabuhan Mayangan, tetapi juga dari Pelabuhan Benoa, Bali.
Jenis kapal yang ditawarkan Fahmi beragam, mulai dari kapal jaring di Probolinggo dengan pinjaman Rp 8 juta, kapal kursin di Papua dengan pinjaman Rp6 juta, hingga kapal cumi pinggiran di Benoa, Bali, dengan pinjaman Rp4 juta hingga Rp5 juta. Syarat pendaftaran cukup mudah, hanya memerlukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Calon ABK, baik yang berpengalaman maupun tidak, dapat mendaftar.
”Jaring Probolinggo bon [pinjaman] 8 jt. Kursin Papua bon 6 jt. Cumi pinggiran bagi hasil bon 2 jt. Yang ada buku pelaut. Yang mau berangkat WhatsApp 082230073511,” tulis Fahmi Dewata dalam unggahan di grup Facebook Info Lowongan ABK Kapal Cumi Muara Angke pada Senin, 6 Januari 2025.
Kami mencoba menghubungi Fahmi pada Selasa, 25 Februari 2025, melalui nomor WhatsApp yang tertera. Pesan kami langsung dibalas pada hari itu. ”Pengalamannya di kapal apa, Mas?” tanya Fahmi saat kami menanyakan ketersediaan lowongan kerja ABK di Pelabuhan Mayangan.
Fahmi kemudian menjelaskan proses rekrutmen ABK melalui dirinya. Menurutnya, syarat utama untuk keberangkatan dari Pelabuhan Mayangan adalah memiliki buku pelaut. “Di Probolinggo seperti itu,” ujarnya. Namun, jika calon ABK tidak memiliki buku pelaut, ia menawarkan bantuan untuk mengurusnya.
Dalam proses pembuatan buku pelaut, Fahmi meminta calon ABK mengirimkan fotokopi KTP dan KK melalui WhatsApp. Setelah itu, ia akan mengurus prosesnya. Saat penjemputan, KTP dan KK asli harus dibawa untuk keperluan administrasi sebelum keberangkatan.
Fahmi juga menjelaskan bahwa calon ABK tidak perlu khawatir soal penjemputan. Mereka hanya perlu menunggu dijemput oleh travel setelah jadwal keberangkatan kapal ditentukan. Semua biaya awal, kata dia, akan ditanggungnya. ”Kalau setuju, kirim sekarang lewat WhatsApp foto KTP, KK, dan shareloc-nya,” ujarnya.
Selain untuk Pelabuhan Mayangan, Fahmi mengaku memiliki akses untuk membantu ABK bekerja di kapal cakalang di Pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. ”Kalau mau, sistemnya bagi hasil. Uang bon Rp3 juta, uang kontrak Rp2,5 juta, uang target Rp2 juta. Potongannya Rp2,5 juta,” jelasnya.
Ketika ditanya nama kapal untuk keberangkatan dari Pelabuhan Mayangan dan Pelabuhan Tegal, Fahmi enggan menjawab. ”Sampean itu paling ribet. Kalau mau kerja ABK, bilang iya. Kalau tidak, ya tidak,” jawabnya dengan nada ketus.
Selain Fahmi, Jondit Setiyawan juga aktif merekrut ABK melalui Facebook. Berdasarkan penelusuran jurnalis, lowongan kerja ABK yang ditawarkannya disebarkan ke beberapa grup, seperti Penyalur ABK di Benoa Bali dan Loker Kapal Ikan Probolinggo.
Jondit menawarkan pinjaman awal kepada calon ABK untuk kapal dari Pelabuhan Mayangan. Misalnya, untuk kapal jaring dasar dengan kontrak satu tahun, pinjaman yang dijanjikan berkisar antara Rp 8 juta hingga Rp 10 juta.
”Job kpl [kapal] jaring dasar butuh 10 ABK. Bon [pinjaman] 8-10 jt. Kontrak 1 thn. Lokasi Probolinggo. WA 085198635862,” tulis Jondit Setiyawan di grup Facebook Penyalur ABK di Benoa Bali pada Rabu, 30 April 2025.
Kami menghubungi Jondit melalui nomor WhatsApp yang tertera dalam unggahan lowongan kerja ABK tersebut. ”Pengalaman di kapal apa, Mas? Mas bisa jahit jaring?” tanyanya saat membalas pesan kami pada Rabu, 26 Februari 2025.
Jondit membenarkan bahwa pinjaman untuk calon ABK berkisar antara Rp8 juta hingga Rp 10 juta, dengan potongan Rp2 juta untuk biaya penjemputan, administrasi, hingga keberangkatan kapal.
Terkait praktik percaloan dan pemotongan pinjaman, Ujang, mantan ABK asal Riau, mengungkapkan bahwa praktik ini sudah lumrah dan dianggap wajib di Pelabuhan Mayangan. Menurutnya, ini adalah ketentuan tidak tertulis antara tekong dan calo. ”Sekarang semuanya lewat calo,” ujarnya.
Ujang menambahkan, mendaftar sebagai ABK melalui calo memang lebih mudah karena dokumen dan persyaratan diurus calo. Namun, ia menyesal pernah ikut lewat calo. ”Saran saya, jangan daftar ABK lewat calo. Menyesal nanti,” tuturnya.
Terkait praktik percaloan ini, Senior Campaigner Environmental Justice Foundation (EJF), Ronald Roger Rohrohmana, mengungkapkan bahwa sasaran empuk mereka adalah ABK dari luar wilayah yang minim pengetahuan tentang kondisi dan resiko bekerja di kapal. ”Kalau pun tahu, mereka tetap mau ikut kerja sebagai ABK karena iming-iming gaji besar dan sedang terdesak ekonomi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjut Ronald, investigasi EJF menemukan bahwa ABK yang berangkat ke Pelabuhan Mayangan Probolinggo melalui calo upahnya dipotong sepihak. ”Uang yang diberikan oleh perusahaan tidak bersih diterima ABK. Ada potongan-potongan yang dibebankan kepada ABK,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengimbau kepada para ABK agar skeptis jika mendapat tawaran atau menerima lowongan pekerjaan dari calo, apalagi lewat media sosial. Jika tidak, maka akan menjadi makanan empuk para calo. ”Makanya, kesadaran ABK disini sangat penting. Harus paham betul, jangan langsung mau,” tuturnya.
Sejumlah kapal rawai tengah bersandar di Pelabuhan Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur, pada Rabu, 30 April 2025. Foto: Moh Badar Risqullah/EPOCHSTREAM
Industri Perikanan Maju, Perlindungan ABK Diabaikan
Puluhan kapal rawai dengan tonase kotor (Gross Tonnage/GT) 30 GT hingga 78 GT berjejer rapi di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Mayangan, Kota Probolinggo, pada Kamis, 6 Februari 2025. Beberapa pekerja tampak sibuk memperbaiki bagian kapal yang rusak.
Dari pantauan hari itu, lebih dari 50 kapal rawai bersandar di Pelabuhan Mayangan. Beberapa di antaranya adalah KM Inti Nelayan 18 (96 GT), Indra Cipta I (78 GT), Lautan Berlian 5 (84 GT), KM Napoli I (76 GT), serta KM Pulau Sentosa, KM Icha Jaya, dan KM Edo Jaya yang masing-masing memiliki 28 GT.
Banyaknya kapal rawai ini mengambil sebagian tempat bersandarnya kapal nelayan tradisional. ”Dulu jumlahnya (kapal rawai) tidak sebanyak ini. Sekarang kami, nelayan lokal, seperti terhimpit,” ujar seorang nelayan asli Mayangan yang enggan disebut namanya.
Di lokasi yang sama, terdapat kawasan khusus untuk bongkar muat ikan hasil tangkapan kapal rawai. Kawasan ini tidak dapat diakses sembarang orang. Di depan pos penjagaan, terdapat sejumlah petugas yang berjaga serta ada papan peringatan bahwa dilarang memotret aktivitas di lokasi tersebut.
Kondisi tersebut terbukti saat kami memasuki kawasan pelabuhan bongkar muat ini pada Rabu, 30 April 2025. Beberapa orang berbahasa Mandarin terlihat mengawasi aktivitas bongkar muat, bersama dua hingga tiga petugas Pos Keamanan Laut Terpadu (Poskamladu) Mayangan yang berjaga.
”Tidak sembarang orang bisa masuk. Orang lokal saja tidak boleh, kecuali memiliki pekerjaan seperti memperbaiki kapal atau mengantar pesanan, misalnya garam. Saya sendiri hanya beberapa kali masuk,” ujar nelayan tadi.
Ia mengaku tidak mengetahui alasan kawasan bongkar muat tersebut tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. ”Ada penjaganya, orang-orang Cina juga. Jadi, kalau hanya sekadar melihat-lihat, tidak diperbolehkan,” katanya.
Menurutnya, kapal rawai tersebut rata-rata berasal dari Tanjung Balai, Sumatra Utara, sehingga warga Mayangan menyebutnya “kapal balai”. ”Pemiliknya kebanyakan orang Cina, bukan orang lokal. Mereka biasanya melaut ke Merauke, Flores, hingga Arafura,” tambahnya.
Ujang Chaniago, perantau asal Riau dan mantan ABK, mengatakan kapal rawai mulai masuk ke Pelabuhan Mayangan sekitar tahun 1993. Awalnya jumlahnya sedikit, tetapi lokasi pelabuhan yang nyaman membuat jumlahnya terus bertambah. ”Sebelumnya mereka berlabuh di Gresik dan Lamongan, tetapi sekarang lebih banyak di sini,” ujarnya.
Sementara itu, Djumadi, nelayan tradisional Mayangan, menyebutkan bahwa sebagian besar ABK kapal rawai bukan warga lokal. ”Ada yang berasal dari Jember, Lamongan, dan Gresik. Kalau dari Probolinggo, kebanyakan dari wilayah kabupaten,” katanya.
Ia menduga minimnya ABK asli Mayangan yang ikut kapal rawai karena kondisi kerja yang tidak manusiawi, seperti durasi kerja hingga 10 bulan atau lebih. Banyak pula kasus ABK yang berasal dari Mayangan kembali dalam keadaan meninggal. ”Tetangga saya ada yang pulangnya meninggal,” ujarnya.
Hal itu diperkuat dengan temuan EJF. Senior Campaigner EJF, Ronald Roger Rohrohmana, menyebutkan bahwa ABK kapal rawai di Pelabuhan Mayangan Probolinggo ada yang berasal dari luar Jawa. Salah satunya Bitung, Sulawesi Utara. Kalau dari Jawa sendiri, salah satunya berasal dari Cirebon, Jawa Barat.
Dari sejumlah ABK yang temui EJF, dia mengungkapkan, mereka ada yang diberangkatkan ke Probolinggo langsung. Namun, ada pula yang diberangkatkan saat kapal tengah perjalanan melaut dengan menumpang kapal lainnya. ”Bahkan, dalam satu kapal itu, ABK-nya ada yang dari Bitung semua,” ujarnya.
Peningkatan jumlah kapal rawai di Pelabuhan Mayangan tersebut selaras dengan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI. Pada 2019, KKP mencatat ada 186 kapal, didominasi kapal bertonase ≤5 GT (111 unit) dan 51 GT hingga 100 GT (52 unit). Kapal bertonase 21 GT hingga 30 GT ada delapan unit, 31 GT hingga 50 GT ada tiga unit, dan 101 GT hingga 200 GT ada empat unit.
Jumlah kapal melonjak pada 2020 menjadi 317 unit, didominasi kapal ≤5 GT (305 unit). Kapal bertonase 11 GT hingga 20 GT dan 21 GT hingga 30 GT masing-masing lima unit, sedangkan kapal 51 GT hingga 100 GT tidak tercatat.
Pada 2021, jumlah kapal turun menjadi 266 unit, tetapi kapal bertonase 51 GT hingga 100 GT meningkat signifikan menjadi 93 unit, menandakan bertambahnya kapal industri untuk perikanan skala besar di Pelabuhan Mayangan.
Tahun 2022, jumlah kapal naik lagi menjadi 384 unit, dengan kapal bertonase 11 GT hingga 20 GT (43 unit) dan 21 GT hingga 30 GT (79 unit) meningkat. Kapal bertonase 51 GT hingga 100 GT turun menjadi 83 unit, berkurang 10 unit dari tahun sebelumnya.
Puncaknya terjadi pada 2023, dengan total 617 unit kapal. Kapal bertonase 21 GT hingga 30 GT melonjak menjadi 240 unit, tiga kali lipat dari 2022, dan kapal bertonase 11 GT hingga 20 GT naik menjadi 124 unit. Kapal bertonase 51 GT hingga 100 GT sedikit meningkat menjadi 96 unit.
Banyaknya kapal industri di Pelabuhan Mayangan tidak lepas dari lokasinya yang strategis. Pelabuhan ini, salah satu yang terbesar di Jawa Timur, meraih Juara I Pelabuhan Perikanan Daerah Teladan pada 26 September 2024, atas kinerja optimal dalam pelayanan, manajemen, inovasi, dan kontribusi terhadap kesejahteraan nelayan serta keberlanjutan sumber daya laut.
Namun, kemajuan industri perikanan ini berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Lonjakan kapal bertonase besar tidak diimbangi pengawasan ketat, terbukti dari maraknya kecelakaan laut, praktik percaloan, dan eksploitasi ABK yang menyebabkan kematian.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Probolinggo mencatat enam kecelakaan laut dalam tiga tahun terakhir: satu kejadian pada 2022, dua kejadian pada 2023 (dua meninggal), dan tiga kejadian pada 2024 (empat meninggal). Jumlah kecelakaan terus meningkat.
Salah satu kasus terjadi pada KM Cahaya Bahari Jaya (40 GT) yang berlayar pada 17 Oktober 2018 dan tenggelam di Selat Madura pada 21 Oktober 2018. Dari tujuh ABK, enam ditemukan meninggal dan dua hilang. Parahnya, korban tidak mendapat asuransi.
Kemudian, pada 2022, KM Lautan Papua Indah milik PT Wogikel Papua Jaya terbakar di perairan Paiton, Kabupaten Probolinggo, pada 12 Juli 2022. Beruntung, 25 ABK selamat.
Kepala Pelaksana BPBD Kota Probolinggo, Sugito Prasetyo, menyebutkan bahwa pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP), seperti ketiadaan pelampung yang memadai, menjadi masalah utama. ”Hal kecil seperti pelampung sering diabaikan pemilik kapal,” ujarnya pada 15 April 2025.
Seorang pejabat yang pernah ikut patroli gabungan di Pelabuhan Mayangan mengamini hal ini. Ia menyebutkan pemilik kapal sering abai terhadap keselamatan ABK, seperti menyediakan pelampung yang tidak sesuai jumlah ABK. ”Pelampung yang ada tidak memadai. Kalau pun ada, biasanya itu sekedar formalitas bahwa mereka punya,” ujarnya.
Merespon hal tersebut, Kepala Seksi Pelayanan Teknis Pelabuhan PPP Mayangan, Nonot Widjajanto, mengakui pengawasan sebelumnya kurang ketat. Namun, ia mengklaim kini telah diperketat, belajar dari kasus seperti KM Cahaya Bahari Jaya. ”Pengawasan sekarang sangat ketat,” ujarnya pada 28 April 2024.
Nonot menjelaskan bahwa pihaknya bersama instansi terkait melakukan patroli kontinu dengan dua kapal patroli. Selain itu, pemeriksaan nautis dilakukan sebelum kapal berlayar untuk memastikan kelaiklautan sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. ”Kami berpegang pada aturan itu,” tegasnya.
Ia mencontohkan pada tahun ini ada dua kapal yang tidak diizinkan berlayarnya karena ABK tidak memiliki jaminan sosial. Bahkan, ada kapal yang tidak berikan izin berlayar karena nama nahkoda di buku pelaut berbeda dengan KTP. ”Kita minta diurus dulu semuanya dan diajukan kembali,” katanya.
Tak hanya itu, dirinya juga mengaku tak main-main soal percaloan. Ia mengklaim pihaknya sudah menutup praktik gelap dalam rekrutmen ABK di Pelabuhan Mayangan. ”Gak akan bisa lolos pemeriksaan. Kalau ditemukan ada ABK yang lewat calo, kami tidak akan memberikan izin berlayar,” tegasnya.
Karya jurnalistik ini didukung oleh Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli lewat program beasiswa liputan bertajuk “Jurnalis Kelautan: Pelatihan & Beasiswa Liputan 2025”.